Wednesday, September 20, 2006

Yahobu ! Manere-nere si alabe ...

E. Halawa*

Bahasa adalah konvensi. Itulah pernyataan yang sering kita dengar yang berkaitan dengan pemunculan istilah atau kebiasaan berbahasa dalam bahasa apa pun. Maka, suatu istilah baru dapat saja muncul, sejauh disepakati, diterima oleh penutur bahasa itu, meskipun itu terkadang bertentangan dengan kaidah-kaidah umum bahasa yang bersangkutan. Konvensi adalah salah satu cara melalui mana suatu bahasa berkembang. Konvensi biasanya dimunculkan oleh 'komunitas' yang mempunyai pengaruh tertentu karena keahliannya, dominasi ekonomi atau sosialnya, atau karena kegiatan khusus tertentu yang digumuli, dan sebagainya.

Dalam bahasa apapun, konvensi semacam itu lumrah saja muncul, termasuk juga dalam Li Niha. Akan tetapi berkaitan dengan yang terakhir ini ('konvensi' dalam Li Niha), agaknya kita perlu melihat apa yang terjadi sekitar 20 - 30 tahun silam, yang sebenarnya masih juga terjadi hingga saat ini.

Ketika penulis menempuh pendidikan di Gunung Sitoli antara tahun 1972 - 1974, ada suatu kejadian 'kecil' yang selalu 'mengganjal' hati penulis, tetapi waktu itu menyikapinya secara pragmatis: mendiamkannya saja. Kisah ini berkaitan dengan bagaimana cara teman-teman yang bukan orang Nias belajar Li Niha.

Cara paling umum ialah mereka menanyakan arti kata-kata Li Niha satu per satu dan menghafalnya. Lalu berbekalkan kata-kata lepas itu, mereka mulai 'memperlihatkan' kemampuannya berbahasa Nias. Jadi, dengan mengetahui bahwa: saya = ya'odo, pergi = möi, ba = ke, sekolah = sekola, mereka memunculkan sebuah struktur kalimat Li Niha ala anak kecil yang baru belajar berkata-kata, sebagai berikut: Ya'odo möi ba sekola - (maksudnya: Möido ba zekola - Saya pergi ke sekolah). Lalu, dengan mengetahui bahwa: tidak = lö'ö, baik = sökhi, kelakuan = amuata, kamu/engkau = ya'ugö, munculllah: (maksudnya: Lö sökhi amuata ya'ugöLö sökhi gamuatau - tidak baik kelakuanmu).

Biasanya, struktur kalimat Li Niha yang tidak biasa itu menjadi bahan tertawaan Ono Niha. Dan pada umumnya, struktur asing itu akan tetap melekat dalam ingatan mereka hingga mereka meninggalkan Pulau Nias, karena tidak ada yang membetulkan.

Ada banyak alasan mengapa reaksi kita (baca: kami ketika itu) hanya sebatas menertawakan atau memperolok-olok. Yang pertama ialah: keterbatasan penguasaan bahasa Indonesia, sehingga kami tidak mampu menjelaskan hal-hal yang memang kompleks seperti itu kepada mereka. Harap dimaklumi, pada umumnya anak-anak desa yang belajar di Gunungsitoli ketika itu, baru mulai memakai bahasa Indonesia ketika menempuh pendidikan di Gunungsitoli.

Kedua, kami juga bukan ahli bahasa Nias sehingga tidak mudah memberikan penjelasan yang memuaskan, meski pun tahu bahwa hal itu tidak pas, tidak tepat, lö fagöna, lö faudu, lö enahöi.

Alasan ketiga, memang dalam diri kami belum tumbuh (lebih tepat: tidak ditumbuhkan) sikap peduli (konsen), sikap memiliki dan menghargai Li Niha. Bahkan penguasaan Li Niha secara fasih - dalam arti: mengikuti kaidah-kaidah bahasa dan pengucapan Li Niha yang asli - dikaitkan dengan keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan. Sekadar contoh, di kala itu, tidak jarang anak-anak desa diperolok-olok, bahkan juga oleh anak-anak Ono Niha sendiri, karena tidak dapat melafalkan huruf "d" ala Bahasa Indonesia (Lihat artikel Bunyi Huruf "D" Dalam Li Niha).

Apa yang menjadi kerisauan kita sebenarnya ?
Yang menjadi kerisauan kita ialah: bahwa 'bangunan' Bahasa Nias yang kita warisi itu mulai 'porak-poranda' oleh 'konvensi' yang dipaksakan dari luar. Kaidah-kaidah Bahasa Nias yang keliru yang secara tak sengaja dimunculkan oleh orang lain tidak pernah merisaukan kita. Yang lebih menyedihkan adalah proses 'pembiaran' yang kita lakukan: kita tidak memprotes ketika nama atau marga kita di KTP ditulis secara salah, kita selalu 'memaklumi' penulisan yang salah kata-kata Li Niha oleh orang lain tanpa pernah berusaha mengoreksinya.

Kehadiran kaset-kaset lagu pop Nias di satu pihak membanggakan kita, tetapi di pihak lain menjadi lahan yang subur untuk menyebarkan berbagai kekeliruan penulisan bahasa Nias yang sebenarnya tak perlu terjadi.

Kini, setiap kali berjumpa dengan orang-orang yang pernah menginjakkan kakinya di Nias, kita tentu tidak jarang menelan rasa 'jengkel' apabila yang bersangkutan menyapa kita dengan ramahnya, sambil mengucapkan kata-kata Nias dalam kalimat dengan struktur dan gaya buatan mereka sendiri dan tanpa arti yang jelas seperti: Manere-nere si alabe ..., atau menyapa kita dengan salam khas kita "Ya'ahowu" tetapi dengan pengucapan gaya baru: Yahobu. Atau membiarkan pengucapan marga kita "dimodifikasi" sehingga muncul marga-marga "generasi baru" Ono Niha ciptaan orang luar: Bulolo, Bulele, Daki, Daci, Gule, Jay, Halewa, Lahiya, Sega, Talaubanua, Saluku dan sebagainya.

Berbagai keprihatinan yang berkaitan dengan nasib Li Niha berpulang kepada kita semua. Kita Ono Niha-lah, yang memutuskan apakah 'konvensi' yang dipaksakan dari luar itu kita terima begitu saja ... kitalah yang harus mengambil sikap MENOLAK terhadap 'konvensi-konvensi' baru yang bukannya memperkaya Li Niha secara sehat, tetapi justru meracuninya.

Catatan: Tulisan ini pertama kali ditayangkan di Nias Portal, Kamis, Oktober 09 2003.

Tuesday, July 04, 2006

Li Niha - Hakekat Budaya, Tradisi Dan Sejarah Masyarakat Nias

Sebuah wawancara dengan Dr. Lea Brown
Bagi sebagian orang Nias, belajar, menggunakan, dan mencintai Li Niha, sebuah warisan asli para leluhur dari etnik yang menamakan diri Ono Niha bukanlah merupakan sebuah kebanggaan. Ini tentu terkait langsung dengan pengalaman dan keseharian mereka bergulat dengan kehidupan - ketika mereka mengurus surat-surat di kantor-kantor pemerintah, berurusan dengan pengadilan, berbelanja di toko-toko, atau ketika mereka harus mencari nafkah di daerah lain. Dalam interaksi mereka dengan dunia luar, Li Niha kelihatannya kehilangan relevansinya sama sekali.

Menghabiskan banyak waktu, tenaga dan memfokuskan pikiran untuk menyelidiki seluk-beluk sebuah rumpun bahasa dari sebuah suku bangsa yang kecil, tentulah bukan pekerjaan yang menarik bagi banyak orang. Sementara kalangan bahkan menilai pekerjaan semacam itu sebagai sebuah “langkah mundur” di tengah-tengah proses “globalisasi” dari hampir semua aspek kehidupan.

Lantas mengapa seorang Dr Lea Brown menaruh minat yang begitu besar kepada topik yang tidak begitu menarik ini ? E. Halawa dari Nias Portal mendapat kesempatan mewawancari Dr. Lea Brown, seorang peneliti bahasa dan kini bekerja di Department of Linguistics Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig, Jerman. Dr. Lea Brown menulis disertasi doktoralnya tentang bahasa Nias Selatan berjudul: ‘A Grammar of Nias Selatan’. Wawancara dilakukan secara tertulis dalam Bahasa Inggris melalui email. Berikut adalah hasil wawancara Nias Portal dengan Dr. Lea Brown (eh).

Nias Portal (NP): Dr Lea Brown, sejak kapan Anda mulai “jatuh cinta” dengan Nias, khususnya Bahasa Nias ? Mengapa ?

Dr. Lea Brown (LB): Saya pertama kali mendengar tentang Nias pada tahun 1991 ketika saya berdiskusi dengan Prof. James Fox, seorang antropolog yang bekerja di Indonesia selama lebih dari 25 tahun dan sekarang menjabat Kepala Research School of Pacific and Asian Studies - the Australian National University.

Profesor Fox mengatakan kepada saya bahwa Nias merupakan salah satu dari misteri besar Indonesia. Tipe khas budaya megalitik yang muncul di Nias tidak dikenal di daerah lain mana pun di Indonesia; arsitektur rumah raja-raja di kampung-kampung Nias Selatan agaknya unik. Kebiasaan dan tradisi masyarakat Nias tidak terkait dengan kebiasaan dan tradisi yang terdapat di pulau-pulau tetangga Nias tetapi memiliki banyak keserupaan dengan kebiasaan dan tradisi dari tempat-tempat yang lebih jauh, yang mengindikasikan bahwa masyarakat Nias mungkin berasal dari tempat yang jauh itu. Pertanyaan sekarang adalah: dari mana ? Saat ini, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban. Profesor Fox berpikir bahwa studi tentang bahasa mungkin bisa memberikan indikasi krusial untuk memecahkan misteri ini. Hal ini mungkin akan membantu di masa mendatang ketika bahasa Nias dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Saat ini, kajian-kajian saya telah memunculkan misteri-misteri baru, tentang asal-usul Li Niha.

NP: Bisakah Anda menyebutkan “misteri-misteri baru” itu ?
LB: Barangkali misteri terpenting dan yang paling menarik bagi para ahli bahasa adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia. Ciri khas ini menyangkut cara penandaan kata-kata benda dan kata kerja. Bila Anda membandingkan kalimat-kalimat (1) Ibunu nasu amagu (Ayahku membunuh anjing) dengan (2) Mörö nasu (Anjing tidur) atau (3) Mörö namagu (Ayahku tidur), maka Anda akan melihat bahwa “nasu” dalam kedua kalimat mempunyai bentuk yang sama, sementara kata “ama” mempunyai dua bentuk: “ama” pada kalimat pertama dan “nama” pada kalimat ketiga (dengan penambahan “n” pada awal). Kata-kata benda “nasu” dan “nama” dalam kalimat-kalimat ini dalam ilmu bahasa disebut kasus absolutif (absolutive case) dan kata “ama” dalam kalimat pertama tanpa “n” pada awal kata disebut: kasus ergatif (ergative case). Penandaan kata-kata benda dengan cara ini untuk menunjukkan bahwa kata-kata itu terjadi pada kasus absolutif, sejauh kami ketahui, adalah unik atau khas Li Niha. Dengan kata lain kami belum menemukan ciri khas Li Niha ini dalam bahasa lain.

Selanjutnya, penandaan kata-kata kerja dalam Li Niha juga berbeda dengan yang kami temukan dalam bahasa-bahasa lain. Kata kerja bunu (bunuh) mengalami penandaan untuk menunjukkan siapa yang melakukan pembunuhan (bunyi awal i-), dan kita juga tahu bahwa orang yang membunuh dirujuk oleh kata benda subjek dari kalimat ini: amagu. Sebagaimana baru saja saya sebutkan, amagu adalah dalam kasus ergatif. Jadi bagian awal kata kerja, i-, merujuk pada orang yang sama seperti kata benda dalam kasus ergatif. Akan tetapi kami tidak menemukan penanda i- pada kata kerja mörö (tidur), ketika subjek kalimat adalah dalam kasus absolutif. Dengan kata lain, tidak terjadi penandaan pada kata kerja ketika subjeknya adalah dalam kasus absolutif. Penandaan hanya terjadi ketika subjek dalam kasus ergatif. Ciri Li Niha inipun sangat jarang ditemukan dalam bahasa-bahasa lain di dunia. Walau ada beberapa bahasa lain yang menandai subjek-subjek ergatif pada kata-kata kerja, akan tetapi bahasa-bahasa tersebut biasanya juga menandai subjek-subjek absolutif pada kata-kata kerja. Nah, ciri khas Li Niha yang menandai kata-kata kerja hanya untuk kata-kata benda dalam kasus ergatif tetapi tidak untuk kasus absolutif merangsang para ahli bahasa untuk melakukan penelitian lebih jauh tentang Li Niha.

NP:Apa sajakah ciri-ciri khas Li Niha ?
LB: Kasus gramatikal khas yang baru saja saya sebutkan di depan barangkali merupakan ciri terpenting dan khas Li Niha. Akan tetapi yang juga menarik perhatian para ahli bahasa adalah basis morfologisnya, yakni, bentuk aktual dari kata-kata itu. Kata-kata nama dan ama, yang kedua-duanya berarti ayah, mempunyai bentuk yang berbeda. Nama mempunyai ekstra “n”. Kehadiran atau ketiadaan “n” ini mengindikasikan sesuatu tentang “ayah” yang dirujuk dalam sebuah kalimat. Sebagai contoh, seorang Nias akan memahami betul perbedaan makna dari kalimat Ibunu amagu dan Ibunu namagu – dalam kalimat pertama ayahku membunuh sesuatu atau seseorang, sementara pada kalimat kedua seseorang membunuh ayahku. Gejala morfologis di mana bunyi awal sebuah kata benda memuat arti gramatikal, dalam ilmu bahasa disebut mutasi awal (initial mutation). Dalam kalimat kedua kita katakan bahwa kata benda ama (ayah) mengalami mutasi, artinya bunyi awal kata benda tersebut mengalami perubahan dari bentuk normalnya. Mutasi dalam kalimat ini menandakan bahwa ayahku bukanlah agen aksi, ayahku dipengaruhi oleh aksi. Ada sejumlah kecil bahasa yang juga mengalami perubahan pada awal kata-kata benda untuk menandakan informasi gramatikal, tetapi bahasa-bahasa tersebut sama sekali tidak terkait dengan Li Niha.

Ciri khas lain dari Li Niha adalah bunyi getaran kedua bibir (bilabial tril). Bunyi yang dimaksud adalah yang terdapat pada awal dan tengah-tengah kata ‘mbambatö’. Bunyi ini merupakan salah satu bunyi eksotik (aneh, tidak biasa) dalam bahasa-bahasa dunia, dan kemunculannyapun hanya pada segelintir kata. Akan tetapi dalam Li Niha, bunyi getaran kedua bibir ini bukanlah sesuatu yang aneh, ini adalah bunyi normal yang biasa ditemukan dalam Li Niha.

NP: Kerja Anda kelihatannya terfokus pada bahasa Nias Selatan. Mengapa ?
LB: Ketika saya mengawali riset saya tentang Li Niha, saya mendapatkan bahwa telah ada beberapa deskripsi tentang tata bahasa dari varietas Nias Utara yang ditulis oleh beberapa misionaris (dalam Bahasa Jerman) sekitar seratus tahun lalu. Akan tetapi deskripsi-deskripsi itu sedikit sekali menyinggung varietas selatan dan tengah dari Li Niha. Dalam telaah pendahuluan saya terhadap varietas utara dan selatan, saya menemukan beberapa perbedaan yang saya anggap bisa menjadi dasar rekonstruksi suatu bahasa yang mungkin pernah dipakai oleh seluruh masyarakat Nias pada suatu waktu di masa lampau. Ketiadaan deskripsi varietas selatan dan perlunya deskripsi ini untuk merekonstruksi suatu protobahasa yang lebih awal, serta keinginan untuk menyelidiki lebih jauh petunjuk-petunjuk potensial tentang asal-usul Li Niha mempengaruhi keputusan saya untuk memfokuskan penelitian saya pada varietas Nias Selatan.

NP: Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa Li Niha tengah menuju proses kepunahan. Generasi Muda Nias, terutama yang tinggal di luar Nias, tidak lagi menggunakan Li Niha sebagai alat komunikasi mereka. Apa pendapat Anda tentang ini ?

LB: Sangat wajar bahwa anak-anak muda ingin mahir berbahasa Indonesia agar kesemepatan terbuka lebar bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Adalah juga hal yang sangat terpuji bahwa para orang tua mendorong anak-anak mereka menggunakan bahasa Indonesia sebisanya. Kalau Anda berbicara dalam bahasa yang digunakan oleh mayoritas penduduk, maka Anda akan bisa berkomunikasi dengan banyak orang ketimbang kalau Anda hanya berbicara dalam bahasa Anda sendiri. Hal ini tentu saja hal yang baik untuk setiap orang.

Akan tetapi kita mengetahui dari penelitian-penelitian terhadap banyak komunitas di dunia yang telah “punah” bahasanya bahwa orang-orang dari kelompok minoritas yang tidak mahir berkomunikasi dalam bahwa nenek moyangnya cenderung merasa disingkirkan di antara budaya mayoritas dan mengalami hilangnya jati diri, dan baru menyadari sesudah terlambat bahwa mereka tidak lagi memiliki ciri khas atau kekhususan yang ada dalam bahasa mereka yang telah punah itu. Setiap bahasa memberikan gambaran individual akan dunia di mana suatu masyarakat hidup. Setiap bahasa mempunyai kata-kata khusus untuk menggambarkan berbagai kebiasaan, tradisi, kepercayaan, sejarah dan artefak-artefak budaya dari masyarakat pemakai bahasa itu. Mengetahui arti dari kata-kata ini dan menggunakannya dalam bahasa menciptakan ikatan kepemilikan pada komunitas yang hanya terdiri dari orang-orang yang dapat menggunakan kata-kata itu secara baik. Tidak ada bahasa lain di dunia yang sama dengan bahasa Anda. Bahasa Anda mencirikan Anda sebagai pemilik budaya Anda. Bahasa Anda membawa hakekat dari budaya, kebiasaan, tradisi dan sejarah Anda. Walaupun penting bagi anak-anak muda Nias menguasai Bahasa Indonesia secara mahir, saya beranggapan akan sangat memalukan apabila mereka tidak melanjutkan penggunaan bahasa mereka sendiri (Li Niha) di rumah dan meneruskan kekayaan dan keunikan budaya Nias itu kepada anak-anak mereka.

NP: Bisakah Anda berikan kesan umum Anda tentang masyarakat dan budaya Nias.
LB: Orang-orang Nias yang saya jumpai memberikan kesan yang sangat baik. Dari berbagai perbincangan dengan teman-teman dan kolega saya orang Nias, saya merasa bahwa kami memiliki pemikiran dan perasaan yang sama tentang kehidupan; kami berbicara tentang pikiran dan perasaan, tentang tabiat dan pengalaman manusia dengan cara yang sama. Meskipun kita datang dari latar belakang budaya yang berbeda, menurut saya perbedaan budaya menjadi minimal pengaruhnya dalam cara manusia menghadapi kesehariannya.

Sulit bagi saya berbicara banyak tentang budaya Nias. Menurut saya, hal yang kita sebut “budaya” terbawa dalam pikiran kita, diekspresikan dalam percakapan kita dan muncul dalam tingkah-laku kita. Dalam banyak kasus, budaya itu tidak terlihat oleh seseorang yang datang dari luar. Yang saya maksudkan dengan ini ialah bahwa tingkah laku seseorang, percakapannya, penampilannya, gerak-geriknya, bisa saja tidak kelihatan tak biasa bagi orang luar, namun sangat bermakna bagi seseorang yang berasal dari lingkungan budaya yang sama. Memahami implikasi budaya dari sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh seseorang bisa begitu sulit bagi seorang non-Nias. Oleh sebab itulah saya mengatakan bahwa saat ini saya tidak banyak mengetahui tentang budaya Nias, dan karenanya saya tidak bisa memberikan komentar tentang itu. Akan tetapi saya telah membaca banyak tentang kebiasaan dan tradisi Nias dan bagaimana masyarakat Nias hidup seabad yang lalu. Peradaban Nias, kebiasaan-kebiasaan dan tradisinya sebagaimana dideskripsikan oleh para etnolog dari abad kesembilanbelas dan awal abad keduapuluh sangat memukau. Berbagai cerita yang saya dengan dari penutur cerita di Nias Selatan and cerita yang saya baca dari koleksi Pastor Johannes mengisahkan berbagai peristiwa dalam sejarah Nias yang benar-benar menakjubkan. Barangkali bagi sementara kalangan sangat mengecewakan bahwa begitu banyak kebiasaan dan tradisi lama kini telah hilang. Tetapi yang melegakan ialah masih tersedianya berbagai deskripsi tentang banyak pesta dan upacara, kebiasaan dan artefak serta sejarah-sejarah leluhur bagi yang berminat membacanya. Deskripsi-deskripsi ini merupakan hasil kerja keras Pastor Johannes yang merekam begitu banyak teks selama lebih kurang duapuluh tahun terakhir. Dan juga, sekurang-kurangnya, beberapa nyanyian dan tarian yang indah masih dipertunjukkan pada berbagai kesempatan.

NP: Bagaimana publik mendapat akses ke penelitian Anda tentang Li Niha ?
LB: Garis besar tata bahasa Nias (Selatan) yang saya susun akan dipublikasikan pada tahun 2004 dalam sebuah buku yang berisikan koleksi tulisan tentang bahasa-bahasa Austronesia. Judul buku tersebut adalah 'The Austronesian languages of Asia and Madagasgar', yang disunting oleh Nikolaus Himmelmann dan K. A. Adelaar. Demikian juga, akhir tahun depan sebuah volum khusus jurnal kebahasaan NUSA yang didedikasikan untuk Li Niha akan dipublikasikan oleh Universitas Atma Jaya. Saya akan menyunting volum ini bersama dengan Wa'özisökhi Nazara (Ama Wise), seorang peneliti bahasa dari Nias yang kini tinggal di Padang. Pak Nazara telah menulis tentang varietas utara Li Niha untuk tesis Master-nya dari Universitas Udayana. Pak Nazara dan saya berharap volume khusus jurnal tersebut akan memuat tulisan dari dua orang Nias, juga tulisan dari Pastor Johannes.

Saya dengan senang hati mau berbicara dengan siapa saja mengenai penelitian saya tentang Li Niha. Saya bisa dihubungi lewat email pada: lbrown@eva.mpg.de.

NP: Bisakah Anda ceritakan lebih lanjut tentang pekerjaan Anda ?
LB: Saat ini studi saya terfokus pada bahasa-bahasa yang dipakai di Papua New Guinea, karena inilah salah satu daerah di dunia di mana bahasa-bahasa lokal sedang manghadapi ancaman kepunahan. Akan tetapi sebagian waktu saya juga saya manfaatkan untuk penelitian Li Niha. Saya berharap hal ini akan berlangsung untuk waktu yang lama.

NP: Terima kasih, Dr Lea Brown, atas waktu Anda bersama Nias Portal.
LB: Terima kasih. Yaahowu !

(Catatan: Wawancara dengan Dr. Lea Brown ini muncul pertama kalinya di situs Nias Portal pada tgl 10 November 2003.)

Saturday, July 01, 2006

Ha wa’eboea danö Nias ?

[Catatan: Tulisan berikut diambil dari Buku E. Fries, Amuata Danö Niha, yang memberikan berbagai informasi tentang Nias: keadaan iklim, geografi, sejarah, kekayaan alam dan sebagainya. Perhatikan ejaan yang dipakai dan beberapa kata Nias yang sudah jarang dipakai saat ini: mafi, giwö, fari.]

§ 2. Ha wa'eboea danö Nias ?

Na tafaigi gambara danö Nias, ba i'anema'ö oroma chöda, he wisa nga'eoenia: no enaoe mbotonia ba no ide'ide mbolo, tobali oroma manö chöda nasi faoma fatambai, na tasösö hili salawa ba daloe danö, he ha 800 M. wa'alawania jawa dete nasi. Bewe nasi ba gatoemboecha ba ba gaechoela loeo, ba aracha faofao i'otarai moroi jöoe iroegi Ziromboe ba zi tambai si tooe, ba iroegi Woa ba zi tambai si jawa: raja da'ö, ba awoewoe mafi ba gaechoela, ba mamoeko danö ba gatoemboecha, tobali aracha faofao zoei sa atö na sa, iroegi doere Zoeani; aefa da'ö, ba aeroe sa'ae mbalö tanö raja.

Ba wanoe'a si'ai fa'enaoenia awö wa'ebolonia, ba doea rozi lala: si sara, ba la'adölö'ö manö wanoe'a otaloea mbanoea ba gambara danö. He wa'ae no la'ide'ide'ö wokambaraini tanö, ba la'ombacha'ö sa göi he wisa zoe'asoe'ania, si mane nisoera ba gambara danö Nias, safoeria si'ai, wa "Schaal" 1: 150000; eloeahania: na sara cM wa'aröoe gotaloea ba gambara danö andrö, ba 150000 cM zindroehoe gotaloea ba danö Nias, ma 1500 M, faoma 1 "paal". Ba na tamanö wanoe'a fondrege zaröoe otaloea, i'otarai doere Laoja iroegi Telok dalam, ba tasöndra 120 KM ba ma 16 "Mijlen", ba fa'aröoe gotaloeara Ziromboe loeaha Woa, ba 40 KM. Asala ta'ila ta'ogoena'ö "schaal" andrö, ba ta'ila göi ta'erai manö hadia ia fefoe.

Lala si sara, ba wanoe'anoe'a na sa sindroehoe gotaloea, ba ja'ia, na la'osisi sa'ae lala ba danö ba na la'anoe'a'ö; tatoe manö, wa lö tola lö tedooe na sa ba da'ö wa'enaoenia börö zi siwa giwö lala misa ba börö göi me tedooe lala ba wanösö Hili. No moesoe'a göi sa'ae wa'enaoe lala nifari andrö fefoe ba no tetaroe sa göi ba zinga lala misa daroetaroe fangombacha wa'arooe, fa oi la'ila sikoli, ha'oega "paal" gotaloea. No la'otarai G. Sitoli wanoe'a, ba si nangea tatanö da'ö ösa ba dödöda.

Otaloeara G. Sitoli - Lahewa, ba 51 paal ba ma 75 KM

- Ziromboe 48 . 72 "

- Telok dalam 78 . „ 117 "

Ba wangerai ösinia göi, ba lö moehonogöi si'ai na sa; hoelö ha sinahö dödö manö, wa lawa'ö ba ndröfi 1873: 70 Mijl wa'eboea nösinia la foeli la'erai ba ndr. 1888, ba lasöndra 83 Mijl, ba me lahaogö si'ai wanoe'a si fasoei ba ndr 1910, ba ifoeli awoewoe. Te aracha 75 Mijl zindroe-hoenia (ma 3900 KM.)

Saturday, April 08, 2006

Gempa dan Tsunami di Nias dalam Buku “Amoeata Danö Niha” karangan E. Fries

E. Halawa

Penulis secara kebetulan menemukan sebuah fotokopi buku Eduard Fries, seoarang misionaris Jerman dan pelukis yang berkarya di Nias di awal abad 20. Buku dengan judul Amoeata Danö Niha (Karakteristik Pulau Nias – Characteristics of Nias Island) memuat berbagai informasi ilmiah, sejarah, pemerintahan, pembangunan dan budaya Nias.

Buku itu antara lain membicarakan letak geografis dan iklim, flora dan fauna, asal-usul masyarakat Nias, sejarah pembuatan jalan-jalan ke berbagai daerah di Nias dan lain-lain. Buku ini cukup menarik karena ditulis oleh seorang misionaris yang sangat faham tentang bahasa Nias. Barangkali, boleh dikatakan bahwa buku ini merupakan buku pertama yang menggunakan bahasa Nias sebagai bahasa ilmiah.

Melalui buku ini, sekitar 100 tahun lalu, Fries (1877-1923) membuktikan bahwa Li Niha ternyata bisa juga dipakai untuk mengungkapkan informasi ilmiah, sejarah dan budaya. “Terobosan” Fries ini langsung kelihatan pada penggunaan kata “amuata” pada judul buku tersebut. Dalam bahasa Nias sehari-hari, “amuata” adalah kelakuan, seperi dalam kalimat: Sökhi si’ai gamuata nono da’ö (Baik sekali kelakuan anak itu). Dalam judul buku ini, Fries memperluas pengertian “amuata” menjadi sifat atau karakteristik yang ditempelkan pada benda, bukan lagi pada manusia.

Salah satu topik yang menarik dalam buku tersebut adalah gempa / tsunami yang ternyata telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Nias sejak ratusan tahun yang lalu.

Gambar di sebelah kiri adalah hasil scanning sebuah halaman dari buku tersebut yang menceritakan gempa bumi (Duru Danö) dan tsunami (oloro, galoro) yang terjadi dalam kurun waktu 64 tahun (1843 – 1907). Fries yang tinggal di Nias dalam kurun waktu 1903 – 1920, sangat mungkin mengalami sendiri gempa dan tsunami 1907.

Berikut adalah salinan lengkap dari teks yang ada dalam gambar. Pada bagian akhir diberikan terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia.

2. Doeroe Danö
Börö me oi fachai manö hoelo side’ide andrö site’oli ba Soematrans W. Kust, ba me faböbö göi da’ö ba Soematra, wa modoeroe hoelo Nias göi, he wa’ae lö hili Vulkan. Ero röfi so sa ndoeroe, ba lö abölö-bölö. Ba itaria so göi ndroeroe sabölö-bölö, si nangea lö olifoelifoe niha ba danö.

Si samoeza ba so ziheoe ba mbawa Mareti 1843. Iroegi ma’öchö, ba so na zatua ösa, zi no mamondrongo da’ö, ba si lö olifoe, wa ahori manö aso’a nomo niha; no abölöbölö mafi ba gatumbucha; me loeo andrö adoedoe Miga, ba ahöndrö Lambaroe ösa.

Si samoeza ba so zoei ziheoe nasi awö nduru danö ba zi 10 Febr. 1861. No tesao moroi ba ZW, ba abölö ihawoei labua Lagoendri oloro sebua, irege anönö doeloe nasi zalo’o tanö andrö, si so tangsi Niha Hoelöndra me loeo andrö (1856 – 1861); ahori tekiko da’ö, adoedoe nomora, ba maoso göi Niha raja, latema molawa na sa; tobali laröi sa’ae benteng andrö saradadu.

Ba safoeria no andrö, ba ifuli tesao ba zi 4 Jan. 1907, oi dozi ta’ila Tanö Nias ma’asambua moeheoeheoe, tobali molose manö zato ba danö tooe, laröi nomora. Doeroe danö andrö ba oroma göi si jefo ba danö Batak irugi nasi Toba mafi jöu. Ba aefa nduru ba ofeta goloro, eboea si’ai moroi ba NW, ihawoei manö hoelo Woenga andrö ba gaechoela, i’oloi’ö ba nasi zinanönia fefu, oi afatö nohi ba oi mate niha; 15 m wa’alawa ndroeloe nasi si tataloe, ba inönöi göi mbewe nasi ba Doemoela ba ba Gafoeloe, 1 paal wa’aröu, ba ifoefoe zinanö, tobali owoelo mboto geu ba gahe hili, tooe mbanoea Hilimböwö, ba tekiko niha ba da’ö göi. Töra 200 niha si mate ba ziheoe andrö lawa’ö.

I’otarai da’ö, ba no ahono sa’ae, gasagasa, ba lö moe’ila ginötö wa’atesao ndoeroe si manö; ba me no ahatö danö si so Vulkan, ba ma so zoei na foeri, lö moedönadöna.

Terjemahan bebas:
Oleh karena pulau-pulau yang berjejer di pantai barat Sumatera ini berkaitan satu dengan yang lain dan juga dengan daratan Sumatra, maka Nias bisa dilanda gempa walau tidak memiliki gunung berapi aktif. Setiap tahun ada gempa walau tidak kuat. Terkadang ada juga gempa hebat yang tidak mudah dilupakan orang.

Salah satunya adalah gempa yang terjadi pada bulan Maret 1843. Sampai sekarang, orang tua yang sempat mendengar tentang gempa itu tidak akan lupa bahwa rumah-rumah pada runtuh; gempa hebat terasa di daerah bagian timur; ketika itu Miga hancur dan sebagian Lambaru tenggelam.

Satu lagi adalah gempa dan tsunami yang terjadi pada tgl 10 Febr. 1861. Tsunami datang dari arah barat daya dan menghantam dengan dahsyat pelabuhan Lagundri sehingga seluruh dataran rendah tergenang termasuk tangsi tentara Belanda (1856-1861). Dengan rusaknya tangsi dan rumah-rumah mereka, di tambah lagi dengan pemberontakan orang Nias Selatan, maka akhirnya tentara Belanda meninggalkan benteng itu.

Yang terakhir adalah gempa dan tsunami yang terjadi pada tgl 4 Januari 1907, semua kita tahu (mengalami): seluruh daratan Pulau Nias goncang sehingga masyarakat meninggalkan rumahnya dan membuat tenda-tenda kecil di tanah. Gempa tersebut dirasakan juga di tanah Batak hingga sebelah utara Danau Toba. Sesudah gempa, tsunami dahsyat menyusul yang datang dari arah barat laut. Tsunami ini menengelamkan P. Wunga (Hulo Wunga) di sebelah barat, seluruh tanaman dan tumbuhan dihanyutkan ke laut, batang-batang kelapa pada patah dan banyak orang meninggal. Tinggi ombak pertengahan adalah 15 m yang menggenangi pantai Tumula dan Afulu sepananjang 1.5 km. Tsunami ini merusak tanaman, batang-batang pohon yang tumbang mengumpul di lereng-lereng gunung di bawah desa Hilimböwö dan banyak orang meninggal di sana. Konon ada sekitar 200 orang meninggal dari gempa tersebut.

Sejak itu, untuk sementara Pulau Nias terbebas dari goncangan gempa, dan kita tidak tahu kapan akan terjadi lagi, karena P. Nias dekat dengan daratan yang banyak gunung apinya.

Saturday, March 18, 2006

Hauga Bözi ? - Menyatakan / Menaksir Waktu di Nias Zaman Dahulu

Sampai sekitar 30 tahun lalu, ketika jam dinding atau jam tangan (aralozi / tandra luo) belum begitu dikenal, masyarakat Nias di desa-desa masih mengandalkan cara-cara “pragmatis” untuk menyatakan atau menaksir waktu sepanjang hari.

Jam 12.00 malam atau tengah malam disebut talu mbongi. Jam 03.00 dikaitkan dengan waktu biasanya ayam jantan berkokok untuk pertama kalinya: miwo manu siföföna, demikian juga jam 04.00, waktu ayam berkokok untuk kedua kalinya – miwo manu si mendrua.

Jam 05.00 biasanya ditandai dengan kokok ayam yang beruntun dan bersahutan (miwo manu si fadoro). Jam 05.00 pagi adalah juga waktu para penyadap aren (sogai akhe = samölö) pergi menyadap aren dan menampung niranya.

Afusi wali – waktu di mana pekarangan rumah mulai kelihatan (kelihatan “putih” bagi mata yang baru terbuka dari tidur sepanjang malam) – adalah sekitar jam 5.30 pagi.

Pada sekiatr jam 6.00 biasanya riwi-riwi (sejenis jangkrik, cicada - Tibicen canicularis) berbunyi - muhede riwi; pada sekitar pukul 08.00 embun biasanya sudah mengering (otufo namo) dari rerumputan atau daun-daunan pohon.

Pekerja (yang pergi mengambi kayu api, ke sawah, ladang atau ke kebun ubi) biasanya pulang jam 11.00 pagi untuk mempersiapkan (memasak) makanan keluarga untuk siang hari. Jadi waktu mangauwuli zimilo adalah sekitar jam 11 pagi.

Laluo adalah istilah Li Niha untuk menyatakan jam 12.00 (tengah hari). Matahari kelihatan “miring” ke utara – ahole yöu – pada sekitar jam 13.00, dan pada jam 15.00, matahari sudah kelihatan “tumbang” – aso’a yöu.

Pada jam 18.00 ayam (manu) kembali ke kandang, bertengger (manuge) di kandang untuk “beristirahat” – manuge manu.

Istilah Nias – terjemahan bebas Bahasa Indonesia

Waktu

(kira-kira)

Talu mbongi (tengah malam)

00

Miwo manu siföföna (ayam berkokok pertama kali)

03

Miwo manu si mendrua (ayam berkokok untuk kedua kalinya)

04

Miwo manu si fadoro (ayam berkokok beruntun dan bersahutan)

05

Möi zamölö (penyadap aren pergi menyadap)

05

Afusi wali (pekarangan rumah mulai kelihatan “putih”)

05

Muhede riwi ("jangkrik" berbunyi)

06

Otufo namo (embun mengering)

08

Mangawuli zimilo (pulang kerja)

11

Laluo (tengah hari)

12

Ahole yöu (matahari miring ke utara)

13

Aso’a yöu (matahari "tumbang" ke utara)

15

Manuge manu

18


Catatan: Pembaca dapat mengirim korksi, komentar atau masukan ke borokoa@yahoo.com