Tuesday, September 27, 2005

Karakter "W-w" dan "Ŵ-ŵ" Dalam Li Niha

Sebagaimana ditulis S. La'ia dalam artikel berjudul Nias dan Karya Seni E. Fries, Alkitab Bahasa Nias karangan H. Sündermann "merupakan dokumen tulisan pertama dalam bahasa Nias". Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa H. Sundermann-lah yang memunculkan dua versi huruf "W/w" dalam bahasa tulis Li Niha.

Munculnya kedua versi huruf w dalam Li Niha (yaitu w/W dan ŵ/Ŵ) disebabkan oleh dua jenis pengucapan "w" yang berbeda. Sebagai contoh, huruf w dalam kata "bawa" (mulut) diucapkan dengan meniupkan udara lewat bibir bawah dan atas yang pembukaannya agak dipersempit (jadi bentuk mulut lebih pipih) sehingga celah udara menjadi lebih sempit. Maka yang muncul adalah bunyi w seperti dalam nama diri Wulan (dari bahasa Jawa) atau "woman" dan "wood" dalam bahasa Inggris.

Kata-kata dengan huruf w yang memiliki pengucapan seperti di atas antara lain: awiwi, awuwu, bowo, böwö, iwa, awi, waowao, gowi, owi, waöwaö, wahawaha, wuwusi, wurawuru, woyowoyo, welawela, wulöwulöi, dan sejumlah kata benda dengan inisial f yang karena posisinya dalam kalimat mengalami perubahan huruf awal menjadi w seperti: fune (wune), fino ( wino), faya (waya), fötö (wötö). Yang terakhir ini akan kita bahas dalam artikel lain.

Pengucapan w yang kedua sama dengan pengucapan w dalam bahasa Indonesia. Jadi, kata-kata baŵa (bulan) diucapkan seperti kata bawa dalama bahasa Indonesia. Kata-kata dengan huruf w yang memiliki pengucapan seperti ini antara lain: ŵa'a (akar), ŵeŵe (tumbuhan liar yang menjalar), ŵani (lebah), ŵalu (delapan), aiŵö (sungkan), ŵa'ö (katakan), saŵa (ular piton).

Karena pengucapan yang berbeda sebagaimana diuraikan di atas, maka pengucapan w dalam kata-kata Li Niha dilambangkan dalam dua karakter: w dan ŵ. Jadi, bawa (mulut) diucapkan berbeda dan mempunyai arti yang berbeda dari baŵa (bulan).

Kehadiran kedua versi huruf w di atas memunculkan masalah tersendiri. Ada kalanya kedua versi itu dituliskan secara sama, yaitu dengan huruf w tanpa tilda (~). Akan tetapi sebagaimana diuraikan di atas, kedua hal ini memang perlu dibedakan; ini merupakan salah satu ciri khas bahasa tulis Li Niha.

Penghilangan atau "pembauran" ŵ menjadi w di masa lalu terpaksa dilakukan karena pada mesin tik, karakter ? tidak ada; demikian juga pada program-program pengolah kata berbasis komputer seperti Wordstar dan versi-versi Word terdahulu. Tetapi dalam tulisan tangan keduanya selalu dibedakan. Pada program-program pengolah kata versi mutakhir, karakter ŵ dan Ŵ sudah muncul pada beberapa jenis huruf (font) populer seperti Times New Roman, Arial, dll. Jenis-jenis huruf ini sebenarnya unsur ikutan dari program Windows yang menjadi tempat bekerjanya Word. Dengan demikian, sebagaimana pada kasus huruf ö, tidak ada lagi alasan yang kuat untuk mengabaikan ciri khas Li Niha ini.

Salah satu persoalan lain yang muncul dengan kedua versi w di atas ialah konvensi pemakaian w dan W dalam bahasa Nias agak berseberangan dengan pemakaiannya dalam bahasa Indonesia. Artinya pengucapan ŵ dalam bahasa Nias sama dengan w dalam bahasa Indonesia, sementara w dalam bahasa Nias tidak mempunyai padanan khusus dalam bahasa Indonesia karena dalam bahasa Indonesia kata-kata semacam itu sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Agaknya H. Sündermann tidak memikirkan "konsekusensi" ini ketika memperkenalkan kedua versi w/ŵ dalam karya monumentalnya yang disebutkan di depan.

Ada usaha untuk mengatasi persoalan ini, antara lain yang dilakukan oleh W. Gulö dan Nata'alui Duha. Dalam Kamus Kecil Bahasa Nias, Gulö menggunakan "w" untuk melambangkan bunyi "w" seperti dalam bahasa Indonesia. Bunyi "w" seperti dalam wurawura dan waruwaru dilambangkan Gulö dengan "w" yang digaris bawahi.

Dalam sebuah tulisannya yang muncul dalam Majalah Media Warisan terbitan Yayasan Pusaka Nias beberapa waktu yang lalu, Duha menggunakan w/W sebagaimana digunakan dalam bahasa Indonesia. Jadi, menurut pemakaian Duha (dan Gulö), kata madu dalam bahasa Indonesia yang dalam Li Niha biasa ditulis ŵe, ditulis menjadi we saja (w tanpa ~). Ini sudah sesuai dengan cara pengucapan w dalam bahasa Indonesia. Jadi, sekali lagi, menurut cara Duha ini, kata-kata yang dahulu ditulis ŵa'a (akar), ŵeŵe (tumbuhan menjalar), ŵani (lebah), ŵalu (delapan), aiŵö (sungkan), siliŵi (burung pipit), kini cukup ditulis dengan wa'a, wewe, wani, walu, aiwö dan siliwi.

Jelas bahwa kedua kontributor (Gulö dan Duha) melihat kelemahan cara Sunderman melambangkan bunyi khas Li Niha. Saya melihat hal yang sama.

Saya cenderung mengadopsi cara Duha karena alasan yang diuraikan di atas. Untuk melambangkan bunyi w lain seperti yang muncul dalam kata-kata: waöwaö (langkah-langkah), woyowoyo, wurawura, dsb., Duha menggunakan huruf v/V. Jadi, kata-kata di atas ditulis: vaövaö, voyovoyo, dan vuravura. Saya berpendapat alternatif ini kurang tepat karena dua alasan. Pertama, pengucapan v baik dalam bahasa Indonesia (seperti dalam kata televisi, visa, veto) maupun pengucapan dalam bahasa Inggris (seperti dalam kata very, every, visit) tidak sama dengan pengucapan (bunyi) w dalam Li Niha seperti dalam kata waöwaö, woyowoyo dan wurawura di atas. Alasan kedua ialah, huruf v dengan pengucapan seperi fe telah dikenal dalam bahasa Nias melalui serapan unsur luar seperti dalam nama diri Veronika, Verawati, atau dalam kata televisi atau video yang boleh dianggap sudah menjadi kata serapan Li Niha.

Untuk mengatasi masalah ini, saya justru mengajukan alternatif yang lebih praktis dan sederhana, yakni: memanfaatkan karakter ŵ untuk menuliskan kata-kata yang bunyinya muncul seperti dalam kata: waöwaö, woyowoyo, wurawura di atas. Hal ini lebih berterima karena bunyi w dalam kata-kata tersebut terasa asing bagi orang-orang bukan Nias. Dan dengan memberikan tanda ~ (tilda) di atas w, mereka akan mengerti bahwa ada perbedaannya dengan pengucapan w biasa.

Dengan argumen-argumen di atas, maka pemakaian w dan ŵ yang baru saja dibicarakan akan diterapkan dalam tulisan ini. Berikut diberikan beberapa kata yang mengandung huruf w dan ŵ menurut pemakaian baru tersebut.

Kata-kata dengan karakter w/W (sepadan dengan pengucapan dalam Bahasa Indonesia).
bawa (bulan)
tenawa (cegah)
wewe (sejenis tumbuhan menjalar)
siliwi (burung pipit)
liwö (hindar)
walu (delapan)

Kata-kata dengan karakter Ŵ/ŵ
baŵa (mulut)
manaŵa (sejenis kayu keras)
beŵe (bibir)
aŵiŵi (menumpul)
siŵö (kepiting besar)
oŵalusö (akil baliq)

Latihan:

Menurut aturan di atas, apakah huruf w yang muncul dalam kata-kata berikut ditulis seperti adanya atau dengan huruf ŵ ?:
maliwa (bergerak)
fabaliwa (persimpangan)
widowido (bulan-bulanan)
owöra (nasi yang keras, tidak matang)
wawayasö (ketan, pulut)

Catatan:

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Situs Nias Portal dalam Topik Li Niha, Tanggal 3 Juni 2003

Monday, September 26, 2005

Karakter "Ö, ö" Dalam Li Niha

Dalam Li Niha bunyi "e" yang muncul seperti dalam kata-kata: seperti, kemarin, merpati, dan sebagainya dituliskan dengan karakter khusus "ö". Jadi dalam Li Niha tidak ada keraguan pengucapan antara bunyi "e" seperti yang muncul dalam kata-kata di atas dengan bunyi "e pepet" yang muncul seperti dalam kata-kata: enak, sepak, dan tembak.

Karakter "ö" ini sudah dikenal sejak dulu dalam bahasa tulis, sejak buku-buku berbahasa Nias mulai dicetak. Yang dapat penulis sajikan sebagai contoh ialah Alkitab Perjanjian Baru dalam Li Niha yang berjudul SOERA GAMABOE'OELA LI SIBOHOU terbitan Amsterdam 1911 yang disusun H. Sundermann dan dicetak ulang Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, tahun 1984.

Menurut hemat penulis, para misionaris Jerman yang datang ke P. Nias memperkenalkan huruf "ö" dalam penulisan kata-kata Li Niha. Karakter "ö" memang dikenal dalam bahasa tulis latin untuk bahasa Jepang, tetapi Jepang datang belakangan dan juga agaknya tidak memiliki peninggalan berupa tulisan-tulisan berbahasa Nias.

Di era mesin tik dulu, seringkali susah menuliskan "ö" sekali jalan. Biasanya "ö" dicetak sebagai berikut: pertama-tama huruf "o" diketikkan, lalu 'rol' mesin tik dimundurkan lagi ke posisi "o" yang telah diketikkan. Kemudian pada posisi yang sama diketikkan lagi karakter "~" (tilda), kalau perlu dengan mengatur spasi sehingga karakter "~" tersebut tepat berada di atas "o".

Tetapi di era itu, untungnya, ada juga mesin tik yang memiliki karakter "ö" di papan ketiknya, terutama mesin-mesin tik yang dibawa para misionaris Jerman untuk tugas-tugasnya.

Untuk tulisan tangan, penulisan karakter "ö" tidak mengalami kendala, yaitu dengan menempatkan tilda (~) di atas "o" sebagaimana diuraikan di depan.

Sekedar informasi, orang-orang tua zaman dahulu pada umumnya memiliki tulisan tangan yang indah, karena pelajaran menulis merupakan salah satu pelajaran penting dan sangat diutamakan para murid zaman dulu, entah karena apa. Nah, kelihatan sekali bagaimana orang-orang tua kita dulu begitu menikmati saat ketika mereka menulis, dan terutama cara mereka "melukis" karakter "~" di atas "o" dengan sangat telaten. Di zaman orang tua kita dulu, ternyata dalam soal menulis mereka umumnya memegang prinsip: biar lambat (menulis) asal indah.

Pentingnya mempertahankan karakter "ö" dalam Li Niha
Begitu pentingkah karakter "ö" dalam kata-kata Li Niha ? Jawabnya: ya ! Kehadiran karakter "ö", misalnya, sangat membantu orang-orang tua kita dulu dalam membaca, misalnya untuk membaca Alkitab. Tentu saja kita jangan membandingkan kecepatan kita membaca dengan kecepatan mereka membaca yang umumnya terbatas.

Ada kecenderungan (dan sayangnya kita tidak mempedulikan ini) untuk menghilangkan ciri khas Li Niha ini dengan mensubstitusi karakter "ö" dengan "o" karena dianggap kedua bunyi itu berdekatan. Berikut ini diberikan beberapa contoh kata-kata untuk melukiskan betapa fatalnya 'penyederhanaan' itu:

tölö-tölö (kerongkongan) vs. tolo-tolo (bantuan)
törö-törö (singgah-singgahlah) vs. torotoro(nama sejenis burung)
fötö (sejenis burung elang) vs. foto (potong, pintas)
dörö (barangkali) vs. doro (dorong)
föfö (bagian dari sesuatu) vs. fofo (burung)
ö'ö (tokek) vs. o'o (ilalang)

Agak mengherankan juga bahwa para pejabat di Nias yang terkait dengan pendataan penduduk tidak memperhatikan hal ini. Lihat saja begitu banyak nama dalam KTP di Pulau Nias yang ditulis tidak secara benar: huruf "ö" tidak pernah muncul, tetapi digantikan langsung dengan "o".

Dalam sebuah wawancara di SCTV semasa banjir besar melanda Nias beberapa waktu yang lalu, seorang pejabat pemda Nias diwawancarai oleh pembawa berita siang itu. Sambil wawancara berlangsung, nama beliau ditayangkan di layar dengan marga yang ditulis secara kurang benar: "Gulo" yang seharusnya "Gulö". Kita salut kepada beliau yang sempat meralat pengucapan pewawancara ketika menyebut marganya: "Gulo". Beliau beberapa kali berusaha mengoreksi walaupun si pewawancara tetap berpedoman pada teks yang ditayangkan di layar.

Cara menulis "ö" di komputer
Di komputer, fasilitas penulisan karakter "ö" tersedia, sehingga tidak ada alasan untuk menghilangkannya dan menggantikannya dengan "o". Karakter "ö" adalah sebuah karakter ASCII bernomor urut 148 yang dapat dimunculkan dengan menekan sejumlah tombol ketik di papan ketik (keypad). Caranya adalah sebagai berikut.

Tekan dan tahan (hold) tombol ketik "Alt" yang terletak di sebelah kiri (dan kadang-kadang ada juga di kanan) spacebar, lalu tekan berturut-turut angka 1, 4, dan 8 yang ada di keypad yang ada di sebelah kanan papan ketik. Kemudian tombol Alt dilepaskan, maka muncullah karakter "ö". Kadang-kadang pada beberapa keypad, angka 0 harus ditekan terlebih dahulu sebelum angka 1, 4, dan 8 ditekan. Jadi cobalah keduanya.

Catatan:

  1. Sebelum melakukan hal di atas, yakinkan dulu bahwa lampu Num Lock yang ada di sebelah kanan papan ketik hidup dengan men-toggle tombol Num Lock di keypad.)
  2. Selain cara di atas,"ö" bisa juga dimunculkan dengan menekan tombol "Alt" dan kombinasi angka-angka 0244, 0245 atau 0246 di keypad

Pemunculan "ö" dengan cara ini berlaku untuk teks murni (tanpa format). Untuk teks yang ditulis dengan pengolah kata seperti Microsoft Word, berbagai jenis huruf (font) memiliki karakter ö dalam berbagai tampilan.

Semoga dengan informasi ini, kata-kata berbahasa Nias yang mengandung karakter ö dapat ditulis secara benar.

Catatan:
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di situs Nias Portal dalam Topik Li Niha, tanggal 5 Mei 2003. Dengan sedikit revisi, dipublikasikan kembali dalam blog Borokoa ini, 25 Septermber 2005.

Bahasa Nias Terancam Punah ?

Pada suatu kesempatan berkunjung ke Nias tahun 1999, saya berbicara di depan masyarakat sebuah desa dalam sebuah pertemuan. Karena masyarakat yang hadir kebanyakan adalah orang tua-tua dan tidak memahami Bahasa Indonesia dengan baik, saya putuskan untuk berbicara dalam Bahasa Nias, Li Niha atau Li Nono Niha.

Belum begitu lama saya berbicara, saya mulai menyadari betapa terbatasnya kosa kata Li Niha yang saya kuasai, dan begitu susahnya mengungkapkan sesuatu yang ingin saya katakan dalam Li Niha yang baik dan benar. Maka pembicaraan saya akhirnya berlangsung dalam dua bahasa: Li Niha dan Bahasa Indonesia secara campur baur. Begitu saya mendapat kesulitan menemukan kata atau ungkapan yang tepat, saya segera beralih ke kata atau ungkapan dalam Bahasa Indonesia. Pembicaraan yang saya jadwalkan semula berlangsung sekitar 15 menit akhirnya terpaksa "molor" menjadi kurang lebih 30 menit; bukan karena menarik, melainkan karena begitu banyak waktu yang saya habiskan untuk memikirkan apa yang harus saya sampaikan dalam Li Nono Niha. Inilah salah satu pengalaman yang begitu "menyiksai" dalam hidup saya.

Pengalaman yang tidak mengenakkan semacam itu tentu saja dialami oleh banyak orang Nias yang lama tinggal atau bahkan lahir di daerah perantauan, kalau kembali atau berkunjung ke kampung halamannya di Nias.

Berkaitan dengan ini ada anggapan masyarakat di desa-desa di Nias bahwa tidak jarang orang Nias yang berkunjung ke kampung halamannya dari tempat jauh akan bertingkah yang "aneh-aneh". Dalam berkomunikasi dengan orang-orang di desanya mereka menggunakan sebanyak mungkin kata-kata bahasa Indonesia atau bahasa daerah suku lain dalam pembicaraannya. Hal ini ada benarnya, sekurang-kurangnya begitu yang saya amati baik secara langsung maupun dari informasi yang diberikan oleh sejumlah warga desa di Nias setiap kali saya berkunjung ke Nias.

Misalnya saja, ada yang baru meninggalkan kampung halamannya selama 3 hingga 6 bulan, lalu ketika kembali, bercerita dengan orang-orang di kampungnya dalam bahasa Nias dengan logat yang dibuat-buat, meniru-niru logat para pendatang di Nias, dan dengan menggunakan sebanyak mungkin kata-kata bahasa Indonesia atau daerah lain. Terhadap orang semacam ini memang ada sindiran khas masyarakat Nias: Tenga ha li khöda zolifu ia, olifu göi ia lala ba hele ba lala-lalania ba wangai gitö. (Bukan hanya bahasa Nias yang dilupakannya, jalan ke pancuran dan jalan ke kebun karet pun dia sudah tidak ingat lagi.)

Namun kuranglah adil apabila orang-orang Nias yang lama di perantau seperti saya dikelompokkan ke dalam kategori terakhir yang saya lukiskan di atas. Orang-orang Nias di perantauan dalam percakapannya sehari-hari tentu akan jarang memakai Li Nono Niha, kecuali kalau yang bersangkutan memang berada di daerah perantauan yang sebagian besar penduduknya orang-orang dari Nias. Akan tetapi semakin jauh daerah perantauannya dari Nias, semakin besar kemungkinan yang bersangkutan makin jarang berbicara dalam Li Niha. Hal ini lebih serius lagi apabila yang bersangkutan menikah dengan orang dari suku lain. Sejalan dengan keterbukaan dalam berbagai aspek kehidupan, hal terakhir ini tidak jarang terjadi dan bahkan semakin menjadi kecenderungan umum.

Ditinjau dari segala aspek non-budaya, hal itu membawa banyak hal yang positif; akan tetapi akibat sampingan dari aspek budaya ialah: makin berkurangnya generasi muda Nias yang mengenal budaya, khususnya bahasa Nias. Dan ini berarti: bahasa Nias akan menjadi bahasa yang semakin kecil jumlah petuturnya. Dan pada suatu masa kelak tidaklah mustahil Li Niha punah, atau sekurang-kurangnya, ia tidak lagi dipakai sebagai alat komunikasi oleh orang-orang yang menamakan dirinya Ono Niha.

Selain hal yang dikemukakan di depan, ada beberapa hal lain mengapa bahasa Nias dikuatirkan bisa punah. Bagi kebanyakan orang Nias, menguasai bahasa Nias mungkin bukan merupakan sebuah kebanggaan. Di masa menjelang remaja, ketika masih tinggal di Nias, saya banyak melihat orang Nias yang menjadi korban ketakmampuan berbahasa Indonesia: ketika mereka berurusan dengan pengadilan (urusan tanah, utang-piutang, dsb.), dengan aparat keamanan, ketika mereka mengurus akte perkawinan, atau ketika mereka membeli barang di toko-toko di Gunung Sitoli.

Pengalaman pahit semacam ini cenderung memberi kesan bagi mereka bahwa menguasai dan berbicara dalam Li Nono Niha ternyata tidak membawa manfaat, bahkan tidak jarang merugikan. Hal ini menyebabkan mereka tak begitu risau apabila anak-anak mereka tak menguasai atau tak mampu berbicara dalam Li Nono Niha. Gejala ini dengan mudah dapat diamati di daerah Gunung Sitoli dan sekitarnya, di mana para orang tua lebih senang berkomunikasi dengan anak-anak mereka dalam Bahasa Indonesia ketimbang dalam Li Nono Niha.

Kalau kita amati (hal ini memang masih menuntut penelitian khusus), ada hubungan terbalik antara penguasaan bahasa Nias dengan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat Nias. Artinya semakin mapan seseorang dalam bidang ekonomi, semakin kecil atau berkurang kemampuannya berbahasa Nias. Hal ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Orang-orang yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah di rantau, dalam keseharian mereka pada umumnya lebih sering berkomunikasi dengan orang-orang dari latar belakang non-Nias.

Bagi para perantau ini, kebutuhan untuk menguasai bahasa lain (bahasa daerah suku lain, bahasa Indonesia atau bahasa asing) semakin penting. Ini diiringi dengan semakin kecilnya kesempatan bagi mereka (dan keluarganya) untuk berbicara dalam Bahasa Nias. Anak-anak yang lahir dari keluarga ini tidak lagi "terekspose" dengan lingkungan komunikasi dalam Li Niha. Orang-orang Nias yang tetap tinggal di Nias yang relatif mapan secara ekonomis juga akan cenderung menggunakan Bahasa Indonesia apabila berkomunikasi dengan anak-anak mereka yang masih dalam usia sekolah.

***
Dalam suatu komunikasi saya lewat internet dengan Doug Whalen staf Endangered Language Fund, Department of Linguistics, Yale University, USA, saya mempertanyakan kriteria mereka menentukan masuk tidaknya suatu bahasa dalam kategori terancam kepunahan. Dijawabnya sebagai berikut:

Even the languages with large numbers of speakers can be endangered if the children do not continue to use it. If we had to pick one number to rank languages for endangerment, I would choose the percentage of time that teenagers in the community use the language.

(Bahasa dengan jumlah petutur yang besar sekalipun akan terancam punah apabila anak-anak tidak terus menggunakannya. Apabila kita harus memilih satu angka untuk mengurutkan bahasa-bahasa berdasarkan resiko kepunahannya, saya akan memilih persentase waktu penggunaan bahasa itu oleh anak-anak remaja dalam masyarakat tersebut).


Dalam pengantar bukunya yang berjudul "Hoho Manömanö Nono Niha So'atumbukha Moroi ba Pancasila", S.W. Mendröfa (Ama Rozaman) mengungkapkan kekuatiranya akan kemungkinan punahnya Li Nono Niha dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagai berikut:

"Andrö na taŵa'ö tödöda, te mato samuza ma mendrua alahoitö tö mifönada andre, ba alai na hatö niha sagatua zangila fahuhuo ba Li Nono Niha. Sarara sa göi, wa na taya li ba zi sambua faosatö soi, itugu taya manö göi sa'ae dania döi waosatö soi andrö. Na taya Li Nono Niha, ba sarara sa'ae wa lö dania laŵa'ö ONO NIHA da'ö!, me lö sa'ae ö'ila li Nono Niha. Lö ta'ila hadia dania labe'e töi soi si mane da'ö, me lö mu'ila mu'ungoi, hadia ngafu li salua baehania ero fahuhuo."

(Terjemahan bebas: Maka kita katakan, barangkali dalam satu atau dua generasi mendatang ini, jangan-jangan tinggal orang tua-tua yang bisa berbicara dalam Bahasa Nias. Sesungguhnya, apabila bahasa suatu rumpun bangsa lenyap, maka lenyap pulalah nama rumpun bangsa itu. Jika Bahasa Nias lenyap, maka sesungguhnya orang lain tidak memanggil kita "Mereka ONO NIHA - ORANG NIAS !", karena kita tidak mampu berbicara dalam Bahasa Nias. Entah bagaimana mereka menamakan atau memanggil kita kelak, karena kita tidak dapat menelusuri dalam rumpun bahasa apa kita berbicara.)

Dari uraian singkat di depan jelaslah bahwa apa yang dikuatirkan oleh S.W. Mendröfa bisa menjadi kenyataan. Dan sebenarnya telah berada dalam proses mulai menjadi kenyataan. Mau bukti ? Lihatlah sampul-sampul kaset lagu-lagu daerah Nias. Di sana Anda akan menemukan bahasa Nias dalam bentuknya yang paling "menyedihkan": penulisan kata-kata yang tak benar, pengabaian karakter-karakter khas dalam kata-kata Bahasa Nias seperti ö dan ŵ dan lain sebagainya. Tetapi yang lebih menyedihkan lagi ialah bahwa kita membiarkan semuanya itu terjadi.

Bahasa adalah sebuah identitas, sama seperti nama atau marga yang melekat pada diri seseorang. Hilangnya sebuah identitas berarti hilangnya sebuah "tanda pengenal". Li Niha adalah "tanda pengenal alamiah" kita, Ono Niha, yang seharusnya kita pelihara dan tumbuh-suburkan.

Oleh sebab itulah Nias Portal menyediakan ruang khusus, tempat di mana kita secara bersama-sama berbagi pendapat dan informasi mengenai Li Niha.

Informasi terkait:

  1. Bagi yang berminat melakukan usaha pelestarian bahasa, ada tawaran dana dari Endangered Language Fund untuk tahun 2003. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh di situs terkait (klik link di atas.
  2. Dalam Website Rosetta Project dapat dilihat halaman pertama dari Kitab Kejadian - Perjanjian Baru dalam Bahasa Nias (Genesis Text).
  3. Tata bahasa Nias Selatan (a grammar of Nias Selatan) ? Ya, Bahasa Nias Selatan kini telah memiliki tata bahasa dalam bentuk tesis doktoral dari peneliti linguistik Dr. Lea Brown yang kini bekerja di Department of Linguistics, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig, Germany.
  4. Informasi yang disajikan pada butir (1) hingga (3) muncul sebagai produk komunikasi tak langsung penulis lewat email dengan Dr. Paul S. Frank, Vice President for Academic Affairs SIL International. SIL adalah sebuah organisasi yang bekerja di bidang bahasa-bahasa yang kurang dikenal (world's lesser-known languages). Dr. Paul S. Frank telah banyak membantu menyebarluaskan informasi tentang Bahasa Nias.

Catatan:

Artikel ini dipublikasikan pertama kali di situs Nias Portal di topik Li Niha, Tanggal 1 Maret 2003.